Nelayan dan Paradoks Negara Maritim

Tuesday, April 12, 2011 0 comments

(Malang nian nasib nelayan kita! Mereka adalah termasuk orang-orang yang terpinggirkan. Bukan karena mereka tinggal di pinggiran pantai, tetapi karena nasib mereka tidak pernah menjadi lebih baik dibandingkan kelompok masyarakat yang lain. Ada sebuah ironi lain. Dulu sewaktu di sekolah dasar, kita pernah diajari bahwa nenek moyang kita adalah seorang pelaut. Nah, kalau ditanya apakah kita pernah bangga dengan label itu, apakah kita bisa bangga kalau kita sendiri jadi seorang pelaut? Mungkin di antara kita lebih banyak menghindari pekerjaan ini.
Ironi lain. Wilayah laut kita termasuk yang terluas di dunia, tetapi negara kita tidak pernah memaksimalkan potensi ini. Negara membiarkan pembiaran-pembiaran terjadi di wilayah laut kita. Pencurian ikan, perusakan ekosistem laut, pengeboran lepas pantai yang berdampak besar terhadap laut, pembuangan sampah dan limbah di laut. Wow, ternyata begitu banyak pengabaian kita terhadap laut dan masyarakat nelayan yang hidup darinya. Tulisan ini sedikit banyak adalah refleksi atas hal itu.)


Tidak banyak yang tahu bahwa tanggal 6 April adalah Hari Nelayan Indonesia. Pada umumnya, yang kita tahu hanyalah tempat-tempat kuliner yang menyediakan makanan laut (seafood), yang sumber bahannya diperoleh dari para nelayan.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, di mana wilayah lautnya 2/3 dari keseluruhan dan garis pantainya sepanjang 95.181 km, Indonesia adalah negara yang memiliki potensi sumber daya pesisir dan lautan yang sangat besar. Apalagi, hampir 65% penduduk Indonesia saat ini tinggal di wilayah pesisir, di mana di situ tumbuh kota-kota besar dan modern. Sebut saja misalnya Jakarta, Semarang, Surabaya dan Makassar.

Tetapi, fakta tak bisa dipungkiri. Di tengah potensi besar sumber daya kelautan, kantong-kantong kemiskinan justru berada persis di wilayah pesisir dan pemukiman nelayan. Daerah Muara Angke dan Cilincing di Jakarta, Tambak Mulyo dan Tanjung Mas di Semarang, Kenjeran di Surabaya dan daerah Untia dan Barombong di Makassar adalah kampung-kampung nelayan yang kondisinya amat memprihatinkan. Di sana tampak pemandangan yang berbanding terbalik dengan kota-kota besar, yang kebutuhan pangannya didukung dan ditopang oleh para nelayan. Begitulah paradoks negeri kepulauan ini. Para nelayan mengalami nasib yang berbeda dengan warga kotanya.


Potensi Besar
Sebagai negara kepulauan atau negara maritim, Indonesia sampai saat ini tidaklah pernah menjadi negara yang digdaya dalam hal kuantitas produksi hasil perikanan. Fakta menunjukkan bahwa kita masih mengimpor ikan dari luar negeri. Selain itu, kita juga tak pernah kuat di lautan. Kita sering mendengar berita nelayan kita yang justru ditangkap oleh polisi laut negara tetangga. Ditambah lagi dengan sedemikian mudahnya pertahanan laut kita jebol karena aksi pencurian oleh nelayan asing (KIARA, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, 2010).

Pertanyaan mendasar yang kemudian muncul adalah mengapa dengan kondisi sumber daya laut yang sedemikian besar, masyarakat nelayan kita masih tetap miskin dan terbelakang?

Memang ada banyak faktor yang menyebabkan hal itu terjadi. Faktor pertama adalah kecilnya kesejahteraan yang dihasilkan bila hidup menjadi nelayan. Faktor ini membuat banyak para nelayan atau kelompok masyarakat yang secara tradisi menggantungkan hidup dari penghasilan sebagai nelayan meninggalkan pekerjaan ini. Mereka lebih tertarik bekerja di kota, entah sebagai buruh atau sebagai pedagang. Menurut laporan KIARA, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ada sekitar 1,2 juta nelayan yang sudah meninggalkan laut.

Faktor kedua adalah terbatasnya prasarana dan teknologi penangkapan yang mereka gunakan. Sebagian besar nelayan kita masih menggunakan kapal-kapal kecil dan teknologi sederhana, yang tentunya amat membatasi jumlah tangkapan. Selain itu, keterbatasan sarana ini juga membatasi mereka untuk bisa melaut lebih jauh ke perairan dalam, di mana di daerah itu biasanya jumlah ikannya lebih beragam dan banyak.

Faktor ketiga, kurangnya pengetahuan para nelayan kita. Meski mereka sudah memiliki modal kearifan lokal yang diwarisi secara turun-temurun, seperti bagaimana melaut, kapan waktunya untuk melaut, mereka selayaknya diberi juga pengetahuan lain. Misalnya, pengetahuan teknologi kelautan, supaya mereka bisa mampu meningkatkan hasil tangkapan; cara membaca laporan BMG, agar mereka bisa mengukur sejauhmana mereka tetap bisa melaut dan wawasan lingkungan hidup agar mereka tidak semena-mena mengeksplorasi sumber daya kelautan.

Faktor keempat, kurangnya dukungan pemerintah terhadap pekerjaan mereka. Dengan kondisi harga minyak dunia yang fluktuatif seperti saat ini, sebagian besar dari mereka ketar-ketir jika dalam waktu dekat BBM jadi dinaikkan. Kenaikan harga BBM tentu saja akan berpengaruh pada pemasukan. Selain itu, kurang tegasnya pemerintah dalam mengawasi laut Indonesia membuat nelayan-nelayan kita menjadi seperti tidak mampu menghadapi nelayan-nelayan asing yang mencuri ikan di wilayah kita. Nelayan-nelayan asing itu sudah pasti menggunakan kapal besar dan peralatan yang lebih canggih, yang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan nelayan kita. Ditambah lagi faktor pengawasan pasar yang masih kurang. Tidak jarang di antara nelayan kita, hidupnya justru dalam jeratan utang. Mereka dipermainkan oleh para tengkulak dan harga pasar.

Mengubah Nasib
Saat ini, jumlah nelayan Indonesia berkisar sekitar 2,7 juta jiwa. Jumlah ini adalah jumlah yang amat besar untuk negara abaikan. Nah, daripada DPR sibuk menggolkan usulan anggaran pembangunan gedung DPR baru sebesar 1,17 trilyun, lebih baik anggaran tersebut digunakan untuk mengembangkan potensi kelautan dan memberdayakan hidup para nelayan. Sudah sewajarnyalah, mereka, sebagai wakil rakyat memikirkan nasib para nelayan ini. Jika ke depannya nasib mereka tak pernah berubah, sungguh semakin mirislah hidup para nelayan kita. Sudah hidup dan tinggal jauh di pinggir kota, nasibnya juga tak pernah kunjung berubah. Mati segan, hidup pun tak mampu!***

0 comments: to “ Nelayan dan Paradoks Negara Maritim so far...