Gn. Lawu: Mendaki dalam Kondisi Cedera
Sunday, November 23, 2008 Labels: Ekspedisi 0 commentsHaruskah kumati karena sepakbola? Wkwk. Itu tadi sedikit plesetan dari lagu Ada Band. Persis 3 bulan sebelum aku berencana akan mendaki gunung Lawu, aku cedera cukup parah, dan itu gara-gara main sepakbola. Mungkin hanya makian yang layak aku ucupakn untuk teman yang mebuatku cedera. Gara-gara dia salah tackling, posisi sendi lututku agak geser. Untung gak patah tulang. Tapi, kalau aku ingat kejadian itu lagi, situasinya juga tidak bisa dikatakan beruntung, karena sendi lututku agak geser, sehingga kondisinya seperti kaki yang tidak kuat posisinya.
Hampir sebulan bagian lutut kiriku bengkak. Meskipun sudah diterapi dengan terapi setrum, tetap saja posisi lututnya belum stabil. Selama sebulan itu, aku mesti off dari kegiatan sepakbola, olahraga yang paling kucintai. Setelah jeda istirahat lama, aku mencoba jogging kecil, mengelilingi kebun yang cukup luas. Impianku pada saat itu adalah aku harus bisa fit pada saat pendakian ke gunung Lawu.
Dua bulan kemudian, kondisi menjadi pulih, dan lebih baik, setidaknya sudah agak siap untuk pendakian berikutnya. Aku berdoa supaya tidak terjadi apa-apa dengan lututku saat pendakian ke Lawu.
Pendakian untuk pertama kalinya ke gunung Lawu ini, aku tempuh melalui jalur Cemoro Sewu bersama dengan 5 temanku yang lain. Sebenarnya masih ada rombongan teman lainnya, yang mengambi jalur lain, yakni lewat Cemoro Kandang. Cemoro sewu dikenal sebagai jalur berat, soalnya perjalanan menuju puncak langsung nge-track. Jalurnya jarang ada bonusnya. Dan di beberapa bagian, sangat terjal, bahkan sampai kemiringan 70 derajat.
Perjalanan kami dimulai dari pukul 23.00. Kebetulan kami nge-camp dulu di bumi perkemahan. Sementara kami naik, tenda ditinggal dengan beberapa teman kami yang memang tidak punya niat untuk naik.
Suasana malam sungguh membuai perjalanan kami. Kondisi gelap sama sekali tidak mempengaruhi kondisi psikologis kami, persis karena kami tidak tahu seberapa terjalnya perjalanan kami itu. Andaikan kami jalan siang dan suasana terang pastilah entah berapa langkah sudah muncul keluhan ini-itu, karena begitu terjalnya perjalanan ini. Dalam kondisi gelap itu, yang bisa kami lihat hanyalah jarak sekian meter, dan itupun karena bantuan senter yang kami bawa. Selain itu tentu saja, paling-paling keadaan yang meminta untuk istirahat sebentar, sekadar untuk menarik napas panjang dan meneguk air, mengurangi rasa lelah.
Meskipun aku sudah merasa fit, tetapi lama kelamaan muncul juga rasa sakit. Sepertinya mulai kambuh lagi. Bekas bengkak di lututku sudah kulapisi decker, setidaknya mengurangi kerja keras otot di lutut, sehingga kemungkinan-kemungkinan cedera lagi bisa diminimalisir. Tapi, kalau kambuh ya tetap kambuh lagi. Setelah 5 jam perjalanan, aku sudah merasa kelelahan dan sudah mulai menyerah. Belum lagi leader kelompok kami justru membawa kami ke jalan yang salah.
Persis setelah kolam, di mana di situ ada penampungan air, sekaligus beberapa shelter, kami tersesat di jalur penangkapan burung. Kebetulan jalur itu adalah jalur yang sering dipakai pencari burung, padahal itu bukanlah jalur menuju puncak, dan sebaliknya justru jalur menuju bekas kawah. Setelah kami sadar bahwa kami tersesat, dan melihat puncak justru di posisi lain, kami berpikir untuk kembali, menemukan persimpangan yang awalnya tadi membawa ke jalur sesat ini.
Waktu juga semakin pagi, suasana terang semakin kentara. Meskipun matahari belum muncul, setidaknya berkas-berkasnya sudah mampu menyinari permukaan bumi. Aku yang sudah mulai kepayahan mesti dibantu dengan counterpain, untuk sedikit mengurangi nyeri di persendian lutut. Sementara itu, mataku sudah melihat puncak, yang tampaknya masih jauh. Fatamorgana! Puncaknya tampak dekat, tetapi kalau mau ditelusuri sampai ke ujungnya, ternyata perjalanannya masih jauh.
Syukurlah, teman-temanku masih terus menyemangati. Dan sekitar 1 jam kemudian, akhirnya kami sampai di puncak juga. Di sana, rombongan dari Cemoro Kandang sudah sampai lebih dulu. Meskipun tiba lebih lambat, aku merasa bahagia. Meskipun kondisi masih cedera, aku masih bisa sampai ke puuncak. Persis pas sunrise.
Sekitar 1 jam-an kami di puncak. Sambil menikmati sarapan dan dinginnya suhu puncak. Aku merasa begitu dinginnya, mungkin sekitar 5 derajat celcius di tempat itu. Setelah semua senang, kami tutup perjalanan ke puncak ini dengan doa bersama. Berdoa, karena kami bisa sampai semua di puncak, berdoa karena kami bisa melihat besarnya kemegahan alam semesta yang diciptakan Sang Mahamulia.
Sejurus kemudian kami melanjutkan perjalanan dengan turun kembali ke basecamp. Kali ini kami memutuskan untuk tidak pulang lewat Cemoro Sewu lagi. Selain karena jalannya yang begitu terjal, mobil carteran kami posisinya ada di basecamp Cemoro Kandang. Perjalanan turun lewat jalur ini sungguh melelahkan. Aku sedikit-sedikit mulai mengeluh. Aku merasa perjalanan lewat jalur ini tidak selesai-selasai. Wajar saja. Jalur Cemoro Kandang memang lebih panjang dibandingkan jalur dari Cemoro Sewu. Jalur Cemoro Kandang sekitar 10 km, sedangkan Cemoro Sewu hanya 7 km. Mengapa bisa lebih jauh? Ya jelas karena jalur Cemoro Kandang lebih landai.
Sekitar jam 11.00 siang, kami akhirnya sampai di basecamp Cemoro Kandang. Aku puas.