Gn. Ungaran: The Dream comes true…

Saturday, November 8, 2008 0 comments

Terlalu sering aku membaca dan mendengar pengalaman-pengalaman orang yang pernah mendaki gunung. Wow…, aku merasa mereka begitu hebat, mampu menaklukkan gunung-gunung, tempat di mana keaslian alam masih begitu terawat, tempat di mana orang bisa begitu bangga karena berada di tempat tertinggi. Hatiku bertanya, “Apakah mungkin suatu waktu aku juga bisa melakukannya?”
Moment itu datang juga. Kebetulan tahun ini aku pergi dari tanah kelahiranku. Di tanah kelahiranku tidak ada gunung terdekat yang bisa kudaki. Sehingga pengalaman mendaki gunung, dulu, hanyalah sebuah impian di siang bolong. Tapi, kini, ada sebuah kesempatan, yang mungkin tak bisa datang dua kali. Temanku mengajakku naik gunung ungaran.


Sementara banyak orang mungkin bertanya-tanya di manakah letak gunung ungaran, aku tetap merasa bahwa ini kesempatan emas untuk menjawab impian masa laluku. Ungaran jelas kalah kelas dan kalah terkenal dibandingkan merbabu, gede, apalagi merapi, yang terkenal angker itu. Tetapi bagiku walaupun ungaran tidak sekelas gunung-gunung tinggi yang menjulang di pelosok-pelosok pulau Jawa, justru ini kesempatanku untuk memulai sebuah perjalanan. Perjalanan meraih tempat tertinggi, perjalanan mendekati surga. Masak? Ya iyalah, kata orang khan surga ada di atas. Kalo semakin ke atas berarti dekat surga tho. Benar juga seloroh sekian banyak orang, kalo puncak gunung adalah tempat di mana para dewa bersemayam.
Kata orang, Ungaran adalah untuk kelas pemula. Ketinggiannya hanya 2000 meter. Aku pikir itu terlalu naïf, meski hanya sekian meter, kalau itu dibayangkan sebuah pohon yang tingginya juga sama, tentu untuk memanjat sampai puncaknya sama beratnya. Ya, tidak apa-apalah, yang penting, hitung-hitung pengalaman pertama.
Perjalananku dimulai dari desa Jimbaran. Asyik… mungkin itu yang pertama aku bisa katakan. Tak ada tempat yang segar suasananya selain di desa. Kota sudah terlalu sumpek. Di tempat ini, di desa maksudnya, paru-paruku merasakan udara segar. Seperti orang habis donor darah. Gimana tuh rasanya? Ya coba sekali-sekali donor darah, mesti segar sehabisnya.

Desa Jimbaran bukanlah desa terakhir dalam perjalanan pendakian. Tetapi, angkutan umum hanya bisa sampai desa ini. Selebihnya ya nikmatilah dengan jalan kaki. Dengan 3 orang temanku yang lain, aku melewati beberapa kampung, sampai akhirnya kami tiba di ujung perbatasan hutan, di mana di situ persis ada banyak lading-ladang penduduk. Untuk sampai tempat ini dari Jimbaran, perjalanan sudah menempuh waktu sekitar 1 jam. Weleh… weleh… sudah terasa capek.
Temanku yang sudah sering naik gunung bilang kalau jalan itu tidak ada bonusnya. Haha… istilah baru: “bonus”. Di mata pendaki, jalan yang lebih datar dalam pendakian disebut bonus. Benar juga ya… karena kalau jalan daki terus, tentu saja fisik kita dikuras terus. Maka jalan yang datar menjadi kesempatan untuk mengambil nafas.
Selepas batas lading, kami mulailah memasuki hutan pinus. Lebat. Aku pikir, ketika masuk ke hutan perjalanan akan lebih berat lagi. Rupanya tidak. Di hutan pinus ini, perjalanan lebih banyak bonusnya. Inilah salah satu karakter gunung ungaran lewat Jimbaran. Tampaknya kami hanya mengelilingi punggung gunung. Dan memang setelah 2 jam kurang, kami sampai di sebuah perkampungan kecil. Namanya Pengilon. Aku heran, bagaimana di gunung bisa ada perkampungan? Bagaimana mereka punya akses untuk sampai ke kota? Ternyata di arah yang berlawanan ada jalan khusus mobil-mobil perkebunan untuk bisa sampai ke desa itu. Kalo pendakian lewat jalur itu katanya lebih jauh. Di pengilon ada sumber mata air yang tidak pernah habis.
Sambil istirahat sejenak, aku mengambil perbekalan di tasku, dan meminum air secukupnya. Perjalanan ke depan, katanya, akan lebih berat. Setelah sekitar setengah jam istirahat, kami akhirnya melanjutkan perjalanan lagi. Melewati sebagian kebun teh, kami kembali masuk ke jalur hutan yang lebat dan kini jalurnya memang mulai naik.
Baru sekian meter aku sudah minta istirahat. Wajar, tenaga sudah mulai terkuras, walaupun di hutan pinus tadi banyak bonusnya. Tapi, teman-temanku mengeti aku. Sedikit-sedikit istirahat. Tanjakan semakin menjadi-jadi. Yah, kayak gitulah, kesalku dalam hati. Pokoknya berat deh…
Setelah sekitar 2 jam-an, akhirnya aku sampai di puncak. Thanks, God! Akhirnya aku bisa mencapai puncak. Dan ini untuk pertama kalinya aku di atas langit. Aku bisa memandang sejauh mata memandang. Seolah-olah semuanya ada di hadapan mata, bisa memandang apa yang dilakukan di kota sana, di kota sananya lagi, dst. Mungkin ini yang aku bayangkan jika Tuhan memandang ke dunia. Semua kelihatan apa adanya. So, hati-hati lho, kalau kamu mau lakukan apa aja, Tuhan tetap bisa melihat dari atas.
Thanks God, karena aku bisa melihat kemegahan karya ciptaan-Mu. Aku merasa tampak kecil, kecil sekali di tengah-tengah dunia. Sungguh tidak ada apa-apanya. Kebetulan kami mendaki malam hari, sehingga ketika sampai di atas, hari sudah menjelang pagi. Cakrawala sudah mulai kelihatan, tetapi matahari masih bersembunyi. Yang kelihatan hanya bias-bias sinar, yang lamat-lamat akan melahirkan hari baru juga.
Setengah jam kemudian benar adanya. Matahari seperti bergerak terbangun dari tidurnya. Pelan-pelan namun pasti, muncul dari ufuk timur, sambil menambahkan kekuatan sinarnya, yang terus bergerak ke sudut-sudut dunia, seolah-olah membangunkan ayam-ayam jantan agar segera berkokok memberitahukan pemiliknya bahwa sudah pagi. Dan bias-bias sinar itu seperti mengejar sesuatu entah ke manapun arahnya, mengejar kegelepan-kegelapan yang praktis tidak pernah hilang di muka bumi ini. Setiap kali dikejar, kegelapan itu mengelak dan mengelak. Entah sampai kapan akan berakhir.
Sunrise, kata orang. Indah. Dan memang benar indahnya bukan main. Kalau di kota jelas tidak mudah melihat hal semacam ini. Sudah terlalu banyak bangunan bertingkat yang sedemikian rupa menghalangi pemandangan kita. Seolah-olah bangunan-bangunan itu menjadi tokoh-tokoh raksasa, atau jin mungkin, yang sengaja menghalangi kita menyambut matahari, sahabat keceriaan manusia.
Setelah menikmati sajian pagi merekah, aku mulailah saarapan pagi. Hanya berbekal nasi dan lauk di rantang, atau nesting kalau pendaki menyebut, aku mengisi tenagaku kembali. Lumayan. Capek sepertinya hilang dengan mudah. Semua menjadi nikmat, karena sudah sampai di puncak, dan mimpiku menjadi kenyataan.
1 jam kemudian, kami memutuskan untuk turun. Ah, rasanya aku tak mau cepat-cepat meninggalkan keindahan ini. Ingin tinggal di sini saja kalau bisa. Kalau mungkin ada jalan khusus, super cepat, kayak tol mungkin, yang bisa menjadi aksesku pergi dari kota ke tempat ini. Tapi itu tak mungkin! Bukankah sesuatu yang indah dan ideal itu mesti diraih dengan susah payah. Kadang-kadang, orang zaman ini sudah lupa. Inginnya apa-apa serba instan, padahal yang instan itu tidaklah ideal. Justru pengalaman mendaki ini membuatku sadar bahwa segala cita-cita mesti diraih dengan perjuangan.
Perjalanan turun aku pikir perjalanan yang mudah awalnya. Kalau naik sepeda, pasti jalanan yang paling suka adalah jalanan menurun. Tp, justru turun gunung lebih susah. Kata temanku, turun gunung berarti menahan beban 2 kali lipat. Lha, koq bisa? Pertama, berat badan dan perbekalan kita sendiri. Yang kedua, gravitasi bumi. Benar juga,ya! Andaikan aku itu benda mati, kayak kaleng gallon atau bola, mungkin segalanya akan jadi mudah. Tinggal di lempar saja, habis perkara, tinggal gelinding, dan akhirnya sampai di bawah.
Tidak bisa aku gelinding seperti bola, otot dengkul mesti setidaknya bekerja 2 kali lebih keras untuk menahan beban. Lama-lama, aus juga dengkulnya. Kakiku terasa lebih sakit daripada ketika mendaki. Meskipun waktu perjalanan lebih cepat daripada mendaki, tetapi saja, setibanya di desa Jimbaran, kakiku justru lebih sakit, dan seperti tidak mau diajak berjalan lagi.
Setelah dengan perjuangan berat, akhirnya aku bisa sampai di kos-kosanku. Capek, tapi bahagia. Bahagia karena mimpiku terwujud. Bahagia karena aku bisa merasakan kemegahan karya Tuhan. Sungguh, ini pengalaman yang tak terlupakan.***

0 comments: to “ Gn. Ungaran: The Dream comes true… so far...