Gn. Lawu: Mendaki dalam Kondisi Cedera

Sunday, November 23, 2008 0 comments

Haruskah kumati karena sepakbola? Wkwk. Itu tadi sedikit plesetan dari lagu Ada Band. Persis 3 bulan sebelum aku berencana akan mendaki gunung Lawu, aku cedera cukup parah, dan itu gara-gara main sepakbola. Mungkin hanya makian yang layak aku ucupakn untuk teman yang mebuatku cedera. Gara-gara dia salah tackling, posisi sendi lututku agak geser. Untung gak patah tulang. Tapi, kalau aku ingat kejadian itu lagi, situasinya juga tidak bisa dikatakan beruntung, karena sendi lututku agak geser, sehingga kondisinya seperti kaki yang tidak kuat posisinya.
Hampir sebulan bagian lutut kiriku bengkak. Meskipun sudah diterapi dengan terapi setrum, tetap saja posisi lututnya belum stabil. Selama sebulan itu, aku mesti off dari kegiatan sepakbola, olahraga yang paling kucintai. Setelah jeda istirahat lama, aku mencoba jogging kecil, mengelilingi kebun yang cukup luas. Impianku pada saat itu adalah aku harus bisa fit pada saat pendakian ke gunung Lawu.
Dua bulan kemudian, kondisi menjadi pulih, dan lebih baik, setidaknya sudah agak siap untuk pendakian berikutnya. Aku berdoa supaya tidak terjadi apa-apa dengan lututku saat pendakian ke Lawu.
Pendakian untuk pertama kalinya ke gunung Lawu ini, aku tempuh melalui jalur Cemoro Sewu bersama dengan 5 temanku yang lain. Sebenarnya masih ada rombongan teman lainnya, yang mengambi jalur lain, yakni lewat Cemoro Kandang. Cemoro sewu dikenal sebagai jalur berat, soalnya perjalanan menuju puncak langsung nge-track. Jalurnya jarang ada bonusnya. Dan di beberapa bagian, sangat terjal, bahkan sampai kemiringan 70 derajat.

Perjalanan kami dimulai dari pukul 23.00. Kebetulan kami nge-camp dulu di bumi perkemahan. Sementara kami naik, tenda ditinggal dengan beberapa teman kami yang memang tidak punya niat untuk naik.
Suasana malam sungguh membuai perjalanan kami. Kondisi gelap sama sekali tidak mempengaruhi kondisi psikologis kami, persis karena kami tidak tahu seberapa terjalnya perjalanan kami itu. Andaikan kami jalan siang dan suasana terang pastilah entah berapa langkah sudah muncul keluhan ini-itu, karena begitu terjalnya perjalanan ini. Dalam kondisi gelap itu, yang bisa kami lihat hanyalah jarak sekian meter, dan itupun karena bantuan senter yang kami bawa. Selain itu tentu saja, paling-paling keadaan yang meminta untuk istirahat sebentar, sekadar untuk menarik napas panjang dan meneguk air, mengurangi rasa lelah.
Meskipun aku sudah merasa fit, tetapi lama kelamaan muncul juga rasa sakit. Sepertinya mulai kambuh lagi. Bekas bengkak di lututku sudah kulapisi decker, setidaknya mengurangi kerja keras otot di lutut, sehingga kemungkinan-kemungkinan cedera lagi bisa diminimalisir. Tapi, kalau kambuh ya tetap kambuh lagi. Setelah 5 jam perjalanan, aku sudah merasa kelelahan dan sudah mulai menyerah. Belum lagi leader kelompok kami justru membawa kami ke jalan yang salah.
Persis setelah kolam, di mana di situ ada penampungan air, sekaligus beberapa shelter, kami tersesat di jalur penangkapan burung. Kebetulan jalur itu adalah jalur yang sering dipakai pencari burung, padahal itu bukanlah jalur menuju puncak, dan sebaliknya justru jalur menuju bekas kawah. Setelah kami sadar bahwa kami tersesat, dan melihat puncak justru di posisi lain, kami berpikir untuk kembali, menemukan persimpangan yang awalnya tadi membawa ke jalur sesat ini.
Waktu juga semakin pagi, suasana terang semakin kentara. Meskipun matahari belum muncul, setidaknya berkas-berkasnya sudah mampu menyinari permukaan bumi. Aku yang sudah mulai kepayahan mesti dibantu dengan counterpain, untuk sedikit mengurangi nyeri di persendian lutut. Sementara itu, mataku sudah melihat puncak, yang tampaknya masih jauh. Fatamorgana! Puncaknya tampak dekat, tetapi kalau mau ditelusuri sampai ke ujungnya, ternyata perjalanannya masih jauh.
Syukurlah, teman-temanku masih terus menyemangati. Dan sekitar 1 jam kemudian, akhirnya kami sampai di puncak juga. Di sana, rombongan dari Cemoro Kandang sudah sampai lebih dulu. Meskipun tiba lebih lambat, aku merasa bahagia. Meskipun kondisi masih cedera, aku masih bisa sampai ke puuncak. Persis pas sunrise.
Sekitar 1 jam-an kami di puncak. Sambil menikmati sarapan dan dinginnya suhu puncak. Aku merasa begitu dinginnya, mungkin sekitar 5 derajat celcius di tempat itu. Setelah semua senang, kami tutup perjalanan ke puncak ini dengan doa bersama. Berdoa, karena kami bisa sampai semua di puncak, berdoa karena kami bisa melihat besarnya kemegahan alam semesta yang diciptakan Sang Mahamulia.
Sejurus kemudian kami melanjutkan perjalanan dengan turun kembali ke basecamp. Kali ini kami memutuskan untuk tidak pulang lewat Cemoro Sewu lagi. Selain karena jalannya yang begitu terjal, mobil carteran kami posisinya ada di basecamp Cemoro Kandang. Perjalanan turun lewat jalur ini sungguh melelahkan. Aku sedikit-sedikit mulai mengeluh. Aku merasa perjalanan lewat jalur ini tidak selesai-selasai. Wajar saja. Jalur Cemoro Kandang memang lebih panjang dibandingkan jalur dari Cemoro Sewu. Jalur Cemoro Kandang sekitar 10 km, sedangkan Cemoro Sewu hanya 7 km. Mengapa bisa lebih jauh? Ya jelas karena jalur Cemoro Kandang lebih landai.
Sekitar jam 11.00 siang, kami akhirnya sampai di basecamp Cemoro Kandang. Aku puas.

Read more... Read full post >>

Gn. Ungaran: The Dream comes true…

Saturday, November 8, 2008 0 comments

Terlalu sering aku membaca dan mendengar pengalaman-pengalaman orang yang pernah mendaki gunung. Wow…, aku merasa mereka begitu hebat, mampu menaklukkan gunung-gunung, tempat di mana keaslian alam masih begitu terawat, tempat di mana orang bisa begitu bangga karena berada di tempat tertinggi. Hatiku bertanya, “Apakah mungkin suatu waktu aku juga bisa melakukannya?”
Moment itu datang juga. Kebetulan tahun ini aku pergi dari tanah kelahiranku. Di tanah kelahiranku tidak ada gunung terdekat yang bisa kudaki. Sehingga pengalaman mendaki gunung, dulu, hanyalah sebuah impian di siang bolong. Tapi, kini, ada sebuah kesempatan, yang mungkin tak bisa datang dua kali. Temanku mengajakku naik gunung ungaran.


Sementara banyak orang mungkin bertanya-tanya di manakah letak gunung ungaran, aku tetap merasa bahwa ini kesempatan emas untuk menjawab impian masa laluku. Ungaran jelas kalah kelas dan kalah terkenal dibandingkan merbabu, gede, apalagi merapi, yang terkenal angker itu. Tetapi bagiku walaupun ungaran tidak sekelas gunung-gunung tinggi yang menjulang di pelosok-pelosok pulau Jawa, justru ini kesempatanku untuk memulai sebuah perjalanan. Perjalanan meraih tempat tertinggi, perjalanan mendekati surga. Masak? Ya iyalah, kata orang khan surga ada di atas. Kalo semakin ke atas berarti dekat surga tho. Benar juga seloroh sekian banyak orang, kalo puncak gunung adalah tempat di mana para dewa bersemayam.
Kata orang, Ungaran adalah untuk kelas pemula. Ketinggiannya hanya 2000 meter. Aku pikir itu terlalu naïf, meski hanya sekian meter, kalau itu dibayangkan sebuah pohon yang tingginya juga sama, tentu untuk memanjat sampai puncaknya sama beratnya. Ya, tidak apa-apalah, yang penting, hitung-hitung pengalaman pertama.
Perjalananku dimulai dari desa Jimbaran. Asyik… mungkin itu yang pertama aku bisa katakan. Tak ada tempat yang segar suasananya selain di desa. Kota sudah terlalu sumpek. Di tempat ini, di desa maksudnya, paru-paruku merasakan udara segar. Seperti orang habis donor darah. Gimana tuh rasanya? Ya coba sekali-sekali donor darah, mesti segar sehabisnya.

Desa Jimbaran bukanlah desa terakhir dalam perjalanan pendakian. Tetapi, angkutan umum hanya bisa sampai desa ini. Selebihnya ya nikmatilah dengan jalan kaki. Dengan 3 orang temanku yang lain, aku melewati beberapa kampung, sampai akhirnya kami tiba di ujung perbatasan hutan, di mana di situ persis ada banyak lading-ladang penduduk. Untuk sampai tempat ini dari Jimbaran, perjalanan sudah menempuh waktu sekitar 1 jam. Weleh… weleh… sudah terasa capek.
Temanku yang sudah sering naik gunung bilang kalau jalan itu tidak ada bonusnya. Haha… istilah baru: “bonus”. Di mata pendaki, jalan yang lebih datar dalam pendakian disebut bonus. Benar juga ya… karena kalau jalan daki terus, tentu saja fisik kita dikuras terus. Maka jalan yang datar menjadi kesempatan untuk mengambil nafas.
Selepas batas lading, kami mulailah memasuki hutan pinus. Lebat. Aku pikir, ketika masuk ke hutan perjalanan akan lebih berat lagi. Rupanya tidak. Di hutan pinus ini, perjalanan lebih banyak bonusnya. Inilah salah satu karakter gunung ungaran lewat Jimbaran. Tampaknya kami hanya mengelilingi punggung gunung. Dan memang setelah 2 jam kurang, kami sampai di sebuah perkampungan kecil. Namanya Pengilon. Aku heran, bagaimana di gunung bisa ada perkampungan? Bagaimana mereka punya akses untuk sampai ke kota? Ternyata di arah yang berlawanan ada jalan khusus mobil-mobil perkebunan untuk bisa sampai ke desa itu. Kalo pendakian lewat jalur itu katanya lebih jauh. Di pengilon ada sumber mata air yang tidak pernah habis.
Sambil istirahat sejenak, aku mengambil perbekalan di tasku, dan meminum air secukupnya. Perjalanan ke depan, katanya, akan lebih berat. Setelah sekitar setengah jam istirahat, kami akhirnya melanjutkan perjalanan lagi. Melewati sebagian kebun teh, kami kembali masuk ke jalur hutan yang lebat dan kini jalurnya memang mulai naik.
Baru sekian meter aku sudah minta istirahat. Wajar, tenaga sudah mulai terkuras, walaupun di hutan pinus tadi banyak bonusnya. Tapi, teman-temanku mengeti aku. Sedikit-sedikit istirahat. Tanjakan semakin menjadi-jadi. Yah, kayak gitulah, kesalku dalam hati. Pokoknya berat deh…
Setelah sekitar 2 jam-an, akhirnya aku sampai di puncak. Thanks, God! Akhirnya aku bisa mencapai puncak. Dan ini untuk pertama kalinya aku di atas langit. Aku bisa memandang sejauh mata memandang. Seolah-olah semuanya ada di hadapan mata, bisa memandang apa yang dilakukan di kota sana, di kota sananya lagi, dst. Mungkin ini yang aku bayangkan jika Tuhan memandang ke dunia. Semua kelihatan apa adanya. So, hati-hati lho, kalau kamu mau lakukan apa aja, Tuhan tetap bisa melihat dari atas.
Thanks God, karena aku bisa melihat kemegahan karya ciptaan-Mu. Aku merasa tampak kecil, kecil sekali di tengah-tengah dunia. Sungguh tidak ada apa-apanya. Kebetulan kami mendaki malam hari, sehingga ketika sampai di atas, hari sudah menjelang pagi. Cakrawala sudah mulai kelihatan, tetapi matahari masih bersembunyi. Yang kelihatan hanya bias-bias sinar, yang lamat-lamat akan melahirkan hari baru juga.
Setengah jam kemudian benar adanya. Matahari seperti bergerak terbangun dari tidurnya. Pelan-pelan namun pasti, muncul dari ufuk timur, sambil menambahkan kekuatan sinarnya, yang terus bergerak ke sudut-sudut dunia, seolah-olah membangunkan ayam-ayam jantan agar segera berkokok memberitahukan pemiliknya bahwa sudah pagi. Dan bias-bias sinar itu seperti mengejar sesuatu entah ke manapun arahnya, mengejar kegelepan-kegelapan yang praktis tidak pernah hilang di muka bumi ini. Setiap kali dikejar, kegelapan itu mengelak dan mengelak. Entah sampai kapan akan berakhir.
Sunrise, kata orang. Indah. Dan memang benar indahnya bukan main. Kalau di kota jelas tidak mudah melihat hal semacam ini. Sudah terlalu banyak bangunan bertingkat yang sedemikian rupa menghalangi pemandangan kita. Seolah-olah bangunan-bangunan itu menjadi tokoh-tokoh raksasa, atau jin mungkin, yang sengaja menghalangi kita menyambut matahari, sahabat keceriaan manusia.
Setelah menikmati sajian pagi merekah, aku mulailah saarapan pagi. Hanya berbekal nasi dan lauk di rantang, atau nesting kalau pendaki menyebut, aku mengisi tenagaku kembali. Lumayan. Capek sepertinya hilang dengan mudah. Semua menjadi nikmat, karena sudah sampai di puncak, dan mimpiku menjadi kenyataan.
1 jam kemudian, kami memutuskan untuk turun. Ah, rasanya aku tak mau cepat-cepat meninggalkan keindahan ini. Ingin tinggal di sini saja kalau bisa. Kalau mungkin ada jalan khusus, super cepat, kayak tol mungkin, yang bisa menjadi aksesku pergi dari kota ke tempat ini. Tapi itu tak mungkin! Bukankah sesuatu yang indah dan ideal itu mesti diraih dengan susah payah. Kadang-kadang, orang zaman ini sudah lupa. Inginnya apa-apa serba instan, padahal yang instan itu tidaklah ideal. Justru pengalaman mendaki ini membuatku sadar bahwa segala cita-cita mesti diraih dengan perjuangan.
Perjalanan turun aku pikir perjalanan yang mudah awalnya. Kalau naik sepeda, pasti jalanan yang paling suka adalah jalanan menurun. Tp, justru turun gunung lebih susah. Kata temanku, turun gunung berarti menahan beban 2 kali lipat. Lha, koq bisa? Pertama, berat badan dan perbekalan kita sendiri. Yang kedua, gravitasi bumi. Benar juga,ya! Andaikan aku itu benda mati, kayak kaleng gallon atau bola, mungkin segalanya akan jadi mudah. Tinggal di lempar saja, habis perkara, tinggal gelinding, dan akhirnya sampai di bawah.
Tidak bisa aku gelinding seperti bola, otot dengkul mesti setidaknya bekerja 2 kali lebih keras untuk menahan beban. Lama-lama, aus juga dengkulnya. Kakiku terasa lebih sakit daripada ketika mendaki. Meskipun waktu perjalanan lebih cepat daripada mendaki, tetapi saja, setibanya di desa Jimbaran, kakiku justru lebih sakit, dan seperti tidak mau diajak berjalan lagi.
Setelah dengan perjuangan berat, akhirnya aku bisa sampai di kos-kosanku. Capek, tapi bahagia. Bahagia karena mimpiku terwujud. Bahagia karena aku bisa merasakan kemegahan karya Tuhan. Sungguh, ini pengalaman yang tak terlupakan.***

Read more... Read full post >>

Gn. Sumbing: Pasir Berdebu

Saturday, October 4, 2008 0 comments


Jika saja ada sesuatu bisa dilakukan untuk memperkuat jaringan antar kelompok, maka baiklah hal itu diusahakan. Semakin kuat dan luas suatu jaringan, semakin terbuka lebar kesempatan untuk belajar begitu banyak hal dan mengetahui yang terbaik bagi semua.
Berawal dari keinginan untuk mendaki gunung, beberapa siswa dan mahasiswa dari Kolese Mikael bergabung bersama kawan-kawan dari Kolese De Britto, Stella Duce Yogya, UNS dan Kolese Loyola Semarang.

Berbekal persiapan fisik dan mental yang secukupnya, 15 mahasiswa Atmi (1 perempuan) dan 11 siswa STM Mikael berangkat dari Kolese Mikael pada hari Sabtu 19 Agustus 2006, pukul 13.00. Semua tas dan Carrier dimasukkan ke dalam satu mobil, lalu kami berdua puluh bersama-sama memulai perjalanan yang menantang dan potensial untuk mengembangkan identitas diri. Harus berdiri di dalam bis menjadi kesempatan bagi kami untuk belajar solider dengan mereka yang berjuang keras menghabiskan banyak waktu untuk berproses menuju tempat tujuan. Perjalanan berlangsung sekitar 5 jam. Pukul 18.00, kami tiba di Base Camp Garung Wonosobo. Di sana sudah berkumpul banyak pendaki yang ingin menemukan kemungkinan-kemungkinan baru dirinya dalam proses pendakian menuju Puncak Sumbing (3371 M). Rombongan Mikael sampai lebih dahulu, dilanjutkan dua kawan dari UNS (1 perempuan). Sesudah itu, rombongan 12 kawan bermotor dari Kolese De Britto dan Stella Duce. Pada pukul 20.00, satu truk berisi 23 kawan dari Kolese Loyola (1 perempuan) tiba. Hebat juga teman-teman dari Loyola, harus berdiri dan menunduk di dalam truk menghindari perhatian polisi.
Sesudah semua rombongan tiba, peserta dibagi menjadi empat kelompok. Tiap kelompok terdiri dari campuran unsur-unsur yang ada. Di dalam kelompok terdapat satu leader, satu sweeper, satu P3K, satu HT, dan satu orang yang membawa kamera.
Pendakian dimulai pukul 20.45. Perjalanan tiap kelompok diberi selang 10 menit. Awal perjalanan yang begitu menanjak dan berat, serta kemampuan masing-masing kawan yang berbeda, mengakibatkan peserta kelompok harus dibagi kembali dalam formasi yang baru. Pukul 24.00, rasa lelah membawa kami tersesat menuju puncak buntu. Dengan rasa yang agak tertekan, kami kembali turun beberapa menit untuk menemukan jalur sebenarnya. Beberapa kawan yang sudah lelah, merasa sudah cukup untuk tidak melanjutkan perjalanan. Beberapa kawan lain yang merasa cukup kuat, melanjutkan perjalanan menuju puncak sebenarnya…. Kami melalui Pasar Watu (suatu situs dengan begitu banyak batu besar). Sesudah itu, kelompok yang masih bertahan melalui watu kotak (sebuah batu yang begitu besar berbentuk kotak, dan biasa dipakai untuk tempat berlindung dari badai). Udara menjadi semakin dingin, angin bertambah kencang, langit menjadi semakin terang. Walaupun langkah kaki semakin berat, kami memotivasi diri untuk bisa bertahan sampai di puncak.
Pukul 7 pagi, beberapa kawan sudah sampai pada akhir perjalanan dan tiba di puncak Sumbing (3371 M). Dilanjutkan oleh beberapa kawan lain, akhirnya tiba di puncak. Cukup banyak dari kami yang sampai di Puncak, hampir sekitar 20 orang dari total 64 orang.
Perjalanan turun menuju base camp diselimuti oleh cuaca yang begitu panas karena panas matahari. Belum lagi, debu-debu pasir yang terbang karena hentakan langkah kami, membuat pernafasan sedikit terganggu. Kali ini perjalanan turun, secara otomatis, terbagi menjadi kelompok-kelompok yang berbeda. Kelompok ATMI dan UNS sendiri, De Britto dan Stella Duce sendiri, Loyola sendiri, dan STM Mikael sendiri.
Perjalanan turun menuju base camp berakhir pukul 2 sore, hari Minggu 20 Agustus 2006. Sesudah membersihkan diri, dan menyegarkan diri dengan makanan dan minuman, dan lalu mengabadikan momen-momen kebersamaan ini, satu persatu dari tiap kelompok mulai saling berpisah dan meninggalkan base camp menuju ke kota asal. ATMI dan STM Mikael, dan UNS mendahului, dilanjutkan oleh Loyola, dan terakhir De Britto dan Stella Duce.
Kebersamaan satu malam di gunung mulai memunculkan benih-benih pertalian yang saling mengikat hati kami satu sama lain…. Pertalian orang-orang muda yang penuh semangat berusaha menemukan kemungkinan-kemungkinan baru dari hidupnya….pertalian orang-orang muda yang merasa disatukan oleh keinginan untuk magis (lebih) mencapai momen-momen yang tidak dialami oleh semua orang…pertalian orang-orang muda yang ingin mengalami kekaguman karena alam dan berusaha untuk mempertahankan kekaguman dengan memupuk semangat bersatu dengan alam.

Read more... Read full post >>

Tips Survival 2

0 comments

Piramida Survival

1. Will to Survive: kehendak/kemauan kuat untuk hidup sebagai pondasi dari
semua keterampilan survival

2.Pengetahuan: mengenai medan misalnya. Pengetahuan memberikan rasa percaya diri dan 'mengusir' rasa takut.

3.Keterampilan: misal tali temali, membuat api, memperhatikan tanda-tanda
alam. Juga tak kalah penting, untuk terus mengasah keterampilan ini.

4. Perlengkapan: pisau, korek api, kompas, dll

prinsipnya agar siap dalam bertahan hidup maka gabungkan antara instinct
untuk surivive dengan: pengetahuan, keterampilan, dan perlengkapan.

SAS Survival Guide, John Wiseman, HarperCollins Publisher, 1993

Read more... Read full post >>

Tips Survival 1

Monday, September 29, 2008 0 comments

Survival is the art of staying alive. Hal-hal yang mendasar dalam survival:

1. Mental kuat sama pentingnya dengan Ketahanan Fisik dan Pengetahuan
2. Mempergunakan semua hal (jika mungkin) dari alam untuk membantu bertahan hidup
3. Bagaimana menarik perhatian regu penolong
4. Bagaimana menemukan jalan kembali ke peradaban
5. Bagaimana mempertahankan kesehatan prima
6. Bagaimana menyembuhkan diri sendiri dan orang lain ketika terluka
7. Bagaimana memotivasi diri sendiri dan orang lain dalam situasi mendesak
8. Bagaimana mengasah selalu keterampilan dan pengalaman untuk bertahan hidup. (peralatan dan perlengkapan dianggap hanyalah sebagai bonus)

Sumber: SAS Survival Guide, John Wiseman, HarperCollins Publisher, 1993

Read more... Read full post >>

Gn. Welirang: Because It's There

0 comments


Ketika ditanya, mengapa ia mendaki Himalaya…Mallory dengan sederhana menjawab…because it’s there…..karena puncak itu yach di sana …
Sebuah kalimat sederhana tetapi menyimpan banyak makna…paling tidak salah satunya seperti yang akan saya tafsirkan…mengapa kami ingin mendaki gunung, mencoba meraih puncak…. yach karena HAL itu disana…HAL: itu menunjuk kepada TEMPAT Yang LEBIH TINGGI, SOSOK yang LEBIH TINGGI, yang maha….tempat jiwa bersentuhan kembali dengan pemilik-Nya….

Peserta: Kira, Heri, Aji, Gendruk, Sronggot, Nico (loyola)

27 Des 2007
Satu mobil Kuda milik ATMI cukup untuk menampung enam orang dan enam carrier…Telat 3 jam dari yang direncanakan, pukul 12 siang kami menuju Tretes….dari enam orang, hanya satu yang belum pernah sama sekali mendaki gunung, yakni mas Heri…pengalaman pertama senantiasa merupakan pengalaman menembus batas….
Satu setengah jam kemudian kami berhenti di Ngawi untuk makan sore dengan menu pecel….

Tidak terlalu sulit bagi kami untuk sampai di Tretes…cukup dua tiga kali bertanya plus sering-sering melihat plang hijau, akhirnya pukul 9 malam kami tiba di Base Camp Tretes….sebelumnya kami agak disibukkan dengan para pengendara ojek yang menawarkan villa beserta failitas penghangat lainnya (tahu khan maksudnya?)….tidak hanya sekali mereka menawarkan…bahkan mobil kami pun sampai dikejarnya dan agak sedikit dipaksa untuk berhenti…tegas, kami menolak…intensi malam ini harus mendaki….
Suasana di Base Camp sepi…tidak ada pendaki…baik yang akan naik atau bermalam…kami sempat sebentar mencari penjaga Base Camp…lalu, baru kemudian ada dua orang bapak paruh baya yang melayani perizinan pendakian….seiring perizinan diurus, satu dua orang menggali informasi mengenai Welirang dan mencari perlengkapan yang masih kurang seperti air minum, batere, senter, dan mantol….untung ada satu toko cukup lengkap yang masih buka….

Setelah semua siap, pukul 22.00, kami mulai merayap mendaki melalui jalan beraspal memasuki kawasan wisat Gunung Arjuna Welirang….hujan rintik-rintik…. Tidak sampai setengah jam hujan rintik mulai berhenti, dan kami sampai di POS 1 Pet Bocor…ada sebuah pondok atau rumah dengan pipa-pipa di pinggir jalan yang sedang bocor (atau sengaja dibiarkan bocor)……jalan yang kami lalui tidak terlalu curam…cukup untuk satu mobil Jeep yang biasa mondar-mandir untuk angkut penumpang dan mungkin angkut belerang…setengah perjalanan menuju POS 2, ada sebuah warung kecil dipinggir jurang…berhenti sejenak untuk minum teh hangat dan menikmati suasana tempat tinggi….lalu kembali berjalan selama dua jam dengan santai menuju POS 2 Kop-kopan…ada beberapa pondok dan warung yang sayangnya pada saat itu sepi dan terlihat tidak ada orang…kelihatannya ini batas terakhir jalan untuk kendaraan….kami berjalan lagi…terlihat tidak ada kesulitan bagi kami…hampir semua pernah mendaki…mas Heri pun bisa mengikuti langkah kami…bahkan kadang berada di depan kami….sekitar pukul 5 pagi, di sebuah area yang agak lapang…kami berhenti dan mendirikan tenda…istirahat sejenak….

28 des 2007
Pukul 7 pagi hari, kami sudah bangun dari tidur…matahari mulai semakin meninggi…satu orang dari kami mulai memasak….area sekitar kami mulai terlihat jelas…beberapa pohon tumbang dan menghitam karena terbakar….beberapa masih bertahan berdiri walaupun kulit-kulitnya sudah menghitam karena lahapan api….sesudah mendokumentasi situasi ini, pukul delapan kami berjalan kembali…..sebelum sampai POS 3 kami berpapasan dengan sekelompok pendaki yang akan menuju Arjuna….kami berhenti sejenak…seperti kawan lama, kami saling menyapa, berjabat erat dan menawarkan air dan makan kecil…sungguh gembira bisa bertemu dengan orang-orang yang satu visi dan satu misi….

Perjalanan menuju POS 3 cukup jauh dan melelahkan….kami berjalan perlahan…sesekali beristirahat dan bergurau…..Pukul 11 siang kami sampai di POS 3 Pondokan….suatu kawasan cukup luas yang merupakan cabang jalur menuju Arjuna (ke kiri 5 jam) dan Welirang (ke kanan/lurus 3 jam)…ada beberapa pondok para penambang belerang…ada tumpukan-tumpukan dan karung-karung belerang…tampak beberapa penambang sedang sibuk mengikat karung belerang…kami beristirahat dan sekali lagi melihat beberapa pohon terbakar yang sudah tumbang…sambil beristirahat kami membicarakan dua hal: apakah akan lanjut terus atau tidak? Lalu, apakah akan menuju Arjuna atau Welirang? Diputuskan lanjut terus sesuai rencana ke Welirang…
Pukul 12 kami melanjutkan perjalanan menuju Puncak…sesekali kami berpapasan dengan para penambang belerang yang turun dari kawah menggerek kereta besi yang ditumpuki oleh karung-karung berisi belerang…sesekali kami didahului oleh para penambang yang mengangkat kereta besi di atas kepala menuju Puncak….jalur yang curam ini dilalui mereka dan kami dengan susah payah…..berapa kira-kira penghasilan mereka? Menambang belerang dengan cara manual…mestinya tidak sampai seratus ribu rupiah sehari….pukul 3 sore kami tiba di Puncak Gunung Welirang…tenda didirikan…kompor dikeluarkan..dan kami mulai memasak Indomie dan makan…
Selama satu jam kami di sana…cuaca berkabut dan hujan mulai turun kembali dengan rintik-rintik…merasakan adanya bahaya, cepat-cepat kami membereskan tenda dan perlengkapan, memakai mantol, dan mendokumentasikan keberadaan kami di Puncak Welirang ini…lalu pukul 4 sore kami menuruni Puncak….
Mencoba agar tidak terlalu malam sampai di base camp, kami mempercepat perjalanan turun….perhentian pertama di Pondokan…hujan sempat berhenti dan ketika hendak turun mulai rintik kembali….pukul 7 malam sampai di Kop-kopan…hujan semakin deras …suasana semakin asing dan liar bagi kami…seperti berada terpisah jauh dari dunia…kami mampir di sebuah pondok/warung dan untunglah masih bisa memesan teh hangat dan makan ubi goreng…kami mengobrol agak lama sambil berharap hujan segera berhenti….
Setengah jam kemudian, hujan tidak berhenti…kami putuskan untuk memakai kembali mantol dan berjalan turun melalui jalur penuh batu….pakaian, sepatu dan tas sudah mulai basah….kami terus mempercepat langkah…pukul sembilan sampai di Pet Bocor..langsung turun…dan setengah sepuluh sampai di Base Camp…hujan menjadi rintik…di perjalanan kami mulai bertanya-tanya tentang hotel yang murah…untunglah Bapak penjaga Base Camp kenal dengan salah satu pemilik losmen…kami diantar dan membuat perjanjian dengan pemilik Losmen…hampir semua lelah dan sakit kaki…dengan agak memaksa diri, barang dan tas mulai dimasukkan ke mobil dan kami mulai menuju losmen tidak jauh dari base camp…satu losmen dengan tiga kamar tidur, dua kamar mandi, satu ruang tamu plus tv menjadi rumah kami untuk satu malam…sesudah mandi….kami makan malam sate ayam, tidak hanya satu porsi, tetapi dua porsi masing-masing orang…walau lelah, malam ini kami masih sempat karaoke dan ngobrol…esoknya pun masih sempat istirahat dan berjalan-jalan sebelum pulang ke Surakarta….


29 des 2007
Pagi Jam 10 kami Check Out menuju Batu, Selecta….rencananya ingin memetik apel di kawasan Selecta, tetapi lalu batal…dari Selecta lalu menuju pantai Bale Kambang (Malang Selatan)…suasana agak ramai…mungkin persiapan tahun baru…teringat akan suasana di Tanah Lot Bali, kami menyeberang jembatan dan menuju pura agak menjorok ke arah laut dalam…hati digembirakan oleh keindahan pantai ini….keindahannya membuat kami tidak bisa lagi ‘jaim’ atau mengendalikan gairah kami untuk menikmati alam…puas berfoto-foto dengan berbagai gaya bahkan ditemukan gaya-gaya baru yang lebih fotogenik,…. satu jam kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju pesisir laut selatan-Blitar-Trenggalek-Ponorogo- Wonogiri, dan akhirnya tiba di Solo pukul 24.00…..

Beberapa orang menganggap bahwa pendakian yang kami buat adalah suatu hal yang tidak penting, nekat dan terkesan hanya cari mati saja….bukankah lebih nyaman berada di rumah bersama dengan keluarga, apalagi di saat liburan Natal seperti ini….tetapi sekali lagi, mengutip banyak pendaki terkenal lainnya: Yang pasti bukan dorongan kepada kematian yang membuat kami melakukan tindakan itu, tetapi karena dorongan ingin hidup lebih hidup….

Read more... Read full post >>